Tuesday 2 July 2013

Die Küchenuhr

Hari ini enggak tau kenapa muncul godaan untuk menulis salah satu Kurzgeschichte-nya Jerman yang terkenal atau kalo di Indonesia disebut cerita pendek. Ada kepuasan batin tersendiri saat baca karya-karya sastrawan Jerman karena alur ceritanya tidak bisa ditebak dan 'unik', berbeda saat baca karya dalam negeri yang alurnya itu-itu saja. Silakan disimak terjemahan Indonesianya! :) #maafkalosalah #namanyajugabelajar


Die Küchenuhr (Jam Dapur)
von Wolfgang Borchert


Mereka sudah melihat pemuda itu dari kejauhan dan kemudian menghampirinya. Ia memiliki wajah yang sangat tua, tetapi dari cara dia berperilaku, terlihat bahwa umurnya masih duapuluhan. Mereka pun duduk bersamanya di sebuah bangku, di bawah terik matahari. Dan dia menunjukkan kepada mereka sesuatu yang ada dalam genggaman tangannya.

Ilustrasi Kurzgeschichte ini
Küchenuhr itu bentuknya seperti ini

"Ini dulu adalah jam dapur kami", katanya sambil memandang mereka satu per satu. "Ya, saya telah menemukan jam ini. Hanya ini yang tersisa darinya." Ia memegang sebuah jam dapur yang berbentuk bulat seperti piring, dan mengusap angka-angka berwarna biru itu dengan jarinya.

"Benda ini sudah tidak berharga lagi", katanya rintih, "ya aku tahu. Dan dia sekarang juga tidak terlalu cantik. Kini ia hanyalah sebuah piring, dengan cat warna putih. Tetapi angka-angka birunya masih terlihat manis, menurutku. Alat penunjuknya tentu saja terbuat dari logam. Tapi sekarang tidaklah lagi. Tidak. Bagian dalamnya sudah rusak, hampir semuanya. Tapi dia masih terlihat baik-baik saja.Walaupun sudah tidak berguna." Secara hati-hati pemuda itu membentuk lingkaran sepanjang tepi jam itu dengan menggunakan ujung jarinya. Dan dia berkata dengan pelan: "Dan hanya ini yang tersisa."

Mereka yang sedang duduk di bangku itu, tidak memperhatikan sang pemuda. Yang lelaki hanya memandangi sepatunya sedangkan si wanita memandangi kereta dorong bayinya. Kemudian seseorang berkata: "Anda kehilangan semuanya?"
"Ya, ya", jawab si pemuda senang, "coba Anda pikirkan, semuanya! Hanya ini yang tersisa darinya." Dan si pemuda mengangkat kembali jam itu tinggi-tinggi, seolah-olah yang lain belum mengenal benda itu. "Tetapi jam itu sudah tidak berfungsi", ucap si wanita. "Tidak, tidak, tidak. Ia memang rusak, aku tahu itu. Tapi sebaliknya ia masih terlihat baik-baik saja: putih dan biru."

Dan kembali pemuda itu menunjukkan kepada mereka jam miliknya. "Dan yang paling terindah adalah", katanya penuh semangat, "memang belum pernah kujelaskan kepada Anda. Yang terindah itu: coba Anda pikirkan, dia selalu berada di pukul setengah tiga. Selalu di angka itu, coba pikirkan!"
"Berarti rumah Anda terkena goncangan pukul setengah tiga", kata seorang lelaki sambil mendorong bibir bawahnya. "Itu sudah sering kudengar. Ketika bom-bom berjatuhan, semua jam pasti tidak bergerak lagi. Itu akibat dari goncangan."

Pemuda itu melihat jam dapur itu dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Tuan, tidak, Anda salah. Ini tidak ada hubungannya dengan bom. Anda tidak harus selalu membicarakan bom-bom itu. Tidak. Ada beberapa hal yang Anda tidak tahu pada pukul setengah tiga ini. Ini konyol, bahwa jam itu selalu diam di angka setengah tiga. Dan bukan di empat lewat seperempat atau jam tujuh. Saya selalu tiba di rumah pada pukul setengah tiga. Setiap malam, maksudku. Hampir selalu setengah tiga. Itu semua memang konyol."

Ia memandangi kedua orang itu, namun mata mereka melayang ke arah lain. "Dan tentu saja aku merasa lapar, benar bukan? Dan aku selalu pergi ke dapur. Selalu pada pukul setengah tiga. Lalu, muncullah ibuku. Walaupun aku membuka pintu sepelan mungkin, ia pasti mendengar. Dan ketika aku sedang mencari makanan di dapur dalam keadaan gelap, tiba-tiba lampu menyala. Kemudian ia berdiri sambil mengenakan jaket wol dan syal merahnya. Dan ia menyipitkan matanya, karena cahaya lampu terlalu terang. Yah dia sudah terlelap sebelumnya. Saat itu memang sudah malam. Jadi pulang larut lagi, katanya. Ia tidak berbicara apa-apa lagi. Hanya: Pulang larut lagi. Dan kemudian ia segera membuatkan aku makan malam yang masih hangat dan ia menunggui aku makan. Dia selalu menggosok-gosokkan kakinya, karena lantai yang begitu dingin. Ia tidak pernah memakai sepatu ketika malam. Dan ia duduk sangat lama bersamaku, sampai aku merasa kenyang. Lalu aku masih mendengar dia merapikan piring, ketika aku sudah mematikan lampu kamarku.

Setiap malam selalu begitu. Dan paling sering pada pukul setengah tiga. Tentu saja, menurutku, ia selalu membuatkanku makanan di dapur setiap setengah tiga. Menurutku itu pasti. Ia selalu melakukan hal itu. Dan dia tidak pernah mengatakan apapun kecuali: Pulang larut lagi. Tetapi ia sudah mengucapkannya berkali-kali. Saya pikir, kata-kata itu tidak akan bisa berhenti. Menurutku itu pasti. Semuanya selalu seperti itu dulu."

Terdengar hela nafas panjang. Lalu ia mengatakan dengan pelan: "Dan sekarang?" Ia memandangi yang lainnya. Mereka masih tidak peduli. Dia berkata lirih kepada jam putih dengan wajah bulat biru itu: "Sekarang, sekarang aku tahu, apa itu surga. Surga yang asli."

Di atas bangku itu masih sunyi senyap. Kemudian bertanyalah si wanita: "Dan keluargamu?" Si pemuda tersenyum: "Ah, maksudmu orangtuaku? Ya, mereka juga sudah pergi. Semuanya sudah pergi. Semua, coba Anda bayangkan. Semuanya pergi."
Ia tersenyum dari seorang ke lainnya, namun mereka tidak memperhatikan si pemuda. Dan ia mengangkat jam itu lagi tinggi-tinggi dan ia tertawa. Dia tertawa: "Hanya jam ini yang ada di sini. Hanya dia yang tersisa. Dan yang paling terindah, bahwa dia selalu diam di angka setengah tiga. Lucunya, setengah tiga."
Dan ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dan lelaki, yang duduk di sebelah pemuda itu, memandangi sepatunya. Namun sebenarnya ia tidak memandanginya. Ia sedang memikirkan kata "surga".