Wednesday 29 January 2014

Damals

Damals (Dulu)
von Hans-Magnus Enzensberger



Tahun 50-an di Jerman ya sedikit membosankan. Bukan, sangat membosankan. Membosankan hingga ingin berteriak. Tetapi aku tidak hanya ingin menghabiskan sepanjang hari untuk berteriak. Akupun mengemasi barang-barang dan pindah ke Norwegia.

Di sana sunyi, tapi tidak membosankan. Orang-orang Norwegia sangat tenang seperti ikan. Saat aku tiba, mereka hampir tidak mengatakan apa-apa. Mereka terkenal di seluruh jagat karena hal itu. Beberapa minggu kemudian terkadang mereka berkata “Morn” setelah melihatku. Artinya seperti “Selamat Pagi”, tetapi orang Norwegia mengatakannya juga pada siang, sore, dan malam hari. “Morn”. Kalau mereka merasa sapaan itu ramah, mereka akan mengatakan “Morn da”.

Ketika dua bulan pertama sudah berlalu, suatu malam aku duduk di satu-satunya café di desa itu. Sedikit kotor, tapi sangat nyaman. Sayangnya tidak ada meja yang kosong. Akhirnya aku duduk dengan seorang tukang pos. Tukang pos itu adalah orang terdekatku, karena dia selalu membawakanku banyak surat. Kami mengobrol, tenang seperti ikan, dan minum bir, karena di café Norwegia tidak ada minuman keras.

“Kapan sebenarnya kamu lahir?” tanya tukang pos itu tiba-tiba. (Di desa kami semua orang menggunakan bahasa informal.)

Pertanyaan lucu!

Orang-orang Norwegia itu, menurutku, sangat penasaran. Tapi mereka menyembunyikan rasa penasaran itu. Kurang sopan jika penasaran, dan tidak ada orang Norwegia yang tidak sopan. 
Seisi desa itu tampak tegang menunggu jawabanku.

“Saya lahir pada tahun 1929”, kataku.
“Ah begitu”, ucap tukang pos.

Seisi desa tampak senang, karena aku lahir pada tahun 1929. Kemudian kami kembali minum beberapa gelas. Setengah sepuluh malam café itu tutup. Ya, memang desa yang tidak neko-neko.

"Morn da!" kata kami, sambil merapikan bangku-bangku ke atas meja. 
Beberapa bulan kemudian, ketika turis-turis seperti bebatuan di pantai, aku duduk sekali lagi di café kami yang kurang sopan, kotor, nyaman.

Sekarang tukang pos mulai berbicara dengan lancar kepadaku menggunakan bahasa Norway. Pintu terbuka dan datang dua lelaki dengan wajah agak merah.

"Bolehkah?", ucap kedua lelaki itu dengan bahasa Jerman yang fasih, karena seperti biasa di
café kami tidak ada meja yang kosong.
Kami hanya mengangguk.

"Ya", kata salah satu laki-laki, "Norway itu indah sekali. Tahukah Anda Norway yang dulu?"
"Tidak", kata lelaki yang lain, "sayangnya tidak!"
"Saat itu adalah masa terindah dalam hidup saya", ucap yang pertama. "Dulu, 1941!"
"Ya, dulu!" jawab lainnya.
"Apakah Anda dulu juga petugas?" tanya si pertama.
 "Ya, tapi hanya di Belgia."
Itu tidak mungkin benar, pikirku. 

"Sejak saat itu saya mencintai Norwegia", kata lelaki yang pertama.
"Alamnya, tahukah Anda, dan orang-orangnya! Sangat sopan, dan selalu diam!"
Seluruh desa mendengarnya dan diam.
Tidak ada yang bertanya kepada kedua lelaki tersebut, kapan mereka lahir.

"Apakah di sini tidak ada bir?" teriak laki-laki kedua.
Kami diam seperti ikan.
"Anda tidak mengenal Norwegia", kata lelaki pertama.
"Bir di sini disebut Öl. Ya, Öl! Apa yang Anda herankan? Öl! Öl!", teriaknya.

Tidak ada yang mendengarkan dia. Pertama tukang pos bangkit, kemudian aku, dan kami pergi tanpa mengucapkan "Morn da". Pelayan datang dan membereskan kursi-kursi ke atas meja di depan kedua lelaki itu, dan meskipun jam masih menunjukkan pukul lima sore, untuk pertama kalinya café itu kosong.

No comments:

Post a Comment