Wednesday 1 January 2014

JOGJA: Aselole jos!

"Jogja mengembalikan nasionalisme"

Bulan Agustus kemaren gue dan @DEUI11 mengelilingi Jogja selama 10 hari. Dengan kereta bisnis AC seharga 135.000 IDR kami meluncur ke sana. Untungnya enggak perlu cari Guest House karena ada rumah bude temen yang tinggal di deket Malioboro, tapi penginapan di sana murah-murah kok. Gue sempet nemuin hotel seharga 50.000 IDR/malam dengan lokasi strategis #ataumungkinadayanglebihmurahlagi. Rencana awalnya sih: Jogja cuma 4 hari - disusul Karimun Jawa 4 hari - terus balik lagi ke Jogja 2 hari untuk istirahat dan beli oleh-oleh. Tapi dewi fortuna belum berkehendak ke kita karena air laut lagi pasang dan engga ada kapal yang berani lewat. Well, emang cuma orang-orang terpilih yang bisa ke Karjaw.

The exotic Karimun Jawa!! Hoffentlich können wir eines Tages dort fahren.
















Episode kekecewaan ini emang belum bisa kebayar, tapi daripada menggalau yang enggak pasti akhirnya kami memutuskan untuk jalan-jalan penuh di Jogja. Setelah cek-ricek di berbagai buku travel ternyata ada beberapa tempat yang belom ke-publish. Zum Gluck kami pergi ke festival kuliner (Pusat Kesenian Jogja) dan di deket situ kami menemukan stand-stand dari berbagai dinas pemerintahan, salah satunya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang memberitahu kami untuk pergi ke objek-objek wisata yang jarang orang tau #aye.

Goa Pindul dan Sungai Oyo
www.goapindul.com

Objek wisata yang satu ini bikin seneng deh. Selain seru, harganya juga murah. Kita bisa body rafting plus keliling goa pindul dengan total harga 75.000 doang/orang! Lokasinya ada di Wonosari. Waktu itu kami menyewa bis travel dengan kapasitas 20 orang. Kalo engga salah per orang bayar 120.000. Selain nyaman, bisnya juga adem a.k.a full ac. Kita berangkat jam 08.00. Perjalanan PP (Pulang Pergi) memakan waktu 4 jam. Sampai di sana gue kaget karena tempatnya kecil. Ternyata untuk mencapai ke Sungai Oyo harus naik transport dulu (ini udah termasuk 75.000 yang tadi). Turun dari mobil kita harus jalan lagi sekitar 5 menitlah. Yang lucunya, kita akan jalan ngelewatin sawah sambil bawa ban buat rafting. Gue saranin sih kalo mau ke Sungai Oyo pake carvil atau sendal yang emang enggak terlalu licin bawahnya.

Lewatin sawah



Sampai di Sungai Oyo pemandu akan nyuruh kita duduk di atas ban yang udah kita bawa. Pasti dia akan bilang, "Angkat pantatnya yah kalau di tempat yang dangkal biar engga kena batu-batu." Alhasil banpun jalan dengan lancar. Beberapa menit kemudian pemandu jelasin kalau sungai yang sedang kami lewati itu dalamnya sampe 11 meter! Semua engga mau turun dong dari ban, tapi pemandu iseng jatuh-jatuhin kita dari ban. "Ngapain rafting kalo engga berenang". Bener juga sih. Satu-persatu pun turun dari ban. Awalnya gue juga engga percaya dengan rompi pelampung yang gue pake (trauma waktu nonton Titanic), tapi lama-lama ketagihan.


Yang suka ketegangan bakal dihibur sama tebing-tebing sungai. Kita bisa lompat dari jembatan, atau kalau yang mau lebih ekstrim lompat dari tebing yang paling tinggi. Hanya beberapa dari kami yang berani lompat. Ich bin einer von ihnen hehehe.

Jembatan

Tebing setinggi 9m. Kaki lurus banget yah
kalo mau lompat dari sini


Panjang Sungai Oyo mencapai 1500m dengan durasi 1-2 jam. Nah kok gue sampai 4jaman?! Sayangnya waktu kami ke sana, Jogja sedang mengalami musim kemarau yang menyebabkan air sungai dangkal, sehingga air sungai enggak mengalir dan kami rela berenang sepanjang sungai itu. Waktu yang baik adalah saat musim hujan karena dengan begitu debit air naik dan arus deraspun akan menghantarkan kalian sampai ke ujung sungai. Kekurangan dari Sungai Oyo? Yah namanya juga sungai, airnya pasti sangat berguna untuk semua masyarakat disitu. Jadi jangan heran kalau melihat ibu-ibu lagi cuci baju. Enggak sehat dong? Tenang, gue masih hidup kok sampai hari ini. Kemudian, sesampai di ujung Sungai Oyo, dua mobil sudah siap untuk mengantar kami ke Goa Pindul. Rada capek sih, tapi penat langsung hilang ketika sampai di Goa Pindul. Airnya masih hijau dan dingin, keren!


Ini dia mobilnya hahaha

Goa Pindul

Sebenarnya sebelum memilih paket, kami disuguhkan dua goa: Goa Gelatik dan Goa Pindul. Goa Gelatik seru kok. Kita harus merangkak sampai ke bawah, bawah, dan bawah. Semakin ke bawah semakin sempit pula goanya! Gue teringat dengan besarnya badan (?) dan berhubung kami anaknya watersport banget, kamipun memilih Goa Pindul deh hehehe. Untuk mengelilingi Goa Pindul lagi-lagi menggunakan ban, tapi kali ini kami harus saling berpegangan tangan karena di dalam goa gelap jadi kalau salah satu hilang yah agak susah dicari. Kedalaman air beragam: 5-12m, tergantung zonanya (zona terang, remang, dan gelap). Di dalam goa jangan parno kalau melihat banyak kelelawar, karena goa ini masih terbilang aktif. Stalaktitnya juga masih meneteskan air. Akhirnya bisa juga lihat stalakmit dan stalaktit yang asli.  

Zona terang dan remang enggak terlalu membuat merinding, tapi pas masuk zona gelap, nah! Apalagi pas diceritain kalau jaman dulu banyak 'orang pintar' yang datang ke goa ini untuk semedi atau minta petuah sama makhluk-makhluk yang tinggal disitu. Bertanyalah seorang teman, "Gimana caranya pak bisa sampai kesini? Kan airnya aja dalam." Ternyata 'orang-orang pintar'  ini menggunakan batang pohon pisang sebagai pelampung mereka. Di tengah perjalanan ada lobang yang sangat besar yang terdapat di atap goa. Pemandangannya bagus karena sinar matahari masuk dan ada bendera Indonesia digantung di tengah-tengah lobang. Di pinggiran goa juga banyak tebing-tebing, alhasil kami lompat-lompatan lagi deh.



Goa Kalisuci

Ini dia goa kedua yang kami datangi. Kelebihan goa ini dari Goa Pindul adalah suasananya. Lebih alam dan lebih berliku-liku hahaha. Kekurangannya? Durasinya sebentar. Tidak selama saat kami ada di Pindul dan Sungai Oyo. Paket di Kalisuci sudah merupakan gabungan rafting dan keliling goa serta harganya masih terjangkau sekitar 65.000 (termasuk teh hangat dan indomie). Ohiya di akhir perjalanan goa nanti untuk naik kembali ke atas harus sanggup tracking dengan bantuan tali tambang. Aman kok asal kitanya juga enggak pecicilan. Kalau di Pindul cuma diberikan pelampung, di Kalisuci kita dikasih helm, pelindung tangan dan kaki, serta pelampung tentunya, karena goanya terdapat banyak batu.



Air di Kalisuci jalannya lebih deras, sehingga raftingnya lebih seru. Waktu keliling goa mungkin akan terasa geli-geli dikit. Kata pemandunya sih itu ulah ikan-ikan. 

Yang menyebabkan durasi Kalisuci lebih sebentar daripada Pindul karena kami hanya boleh sampai zona remang. Kami berhenti tepat sebelum zona gelap, karena di zona gelap lebih berbahaya. Banyak ular air yang tinggal di sana, jadi yah enggak mungkin kan kami ke sana. Batunya juga menghalangi aliran sungai. Kesimpulannya, kami kembali naik ke atas, tapi enggak nyesel datangin tempat wisata ini.

Pemberhentian di zona gelap


Tracking

Wisata Merapi

Ini dia tempat wisata paling unik. Kenapa unik? Karena kami bisa lihat dengan sangat dekat bagaimana proses erupsi Merapi yang terjadi beberapa tahun yang lalu: bekas lava api yang menggelinding ke bawah, turun sampai ke pedesaan, semuanya masih ada. Untuk bisa wisata offroad ini, kita harus menyewa jeep (350.000/jeep) atau motor (70.000/motor). Kamipun menyewa tiga jeep beserta supir. Ohiya wisata offroad ini masih baru loh. 


Awal perjalanan dimulai dengan bebatuan lava. Ini yang paling seru, karena jeep yang kami naiki berjuang untuk bisa melewati batu-batu besar tersebut. Terkadang supir sengaja memilih jalan yang rumit agar lebih menantang kali yeh. Urusan keselamatan? Tenang, karena pemandu menyediakan helm dan masker. Pemberhentian pertama kami terletak di rumah salah satu korban erupsi yang diberi nama "Musium Sisa Hartaku". Terdapat banyak benda-benda yang meleleh akibat lava Merapi (motor, gitar, tv, uang, dan lain-lain), bahkan ada juga bangkai sapi yang hanya tinggal tulang saja! Melihat bekas benda-benda di sana seperti mengulang kembali kejadian erupsi itu.


Setelah Musium Sisa Hartaku, kami berhenti kembali di sebuah bunker yang terkenal karena kisahnya. Katanya sih ada dua orang yang sempat meninggal disini, karena lava yang sangat panas dari Merapi itu masuk ke dalam bunker tersebut. Salah satunya meninggal saat mandi. Sang korban tidak tahu kalau airnya juga akan ikut memanas, akhirnya korbanpun meninggal karena menceburkan dirinya ke air yang mendidih. Untungnya pemandangan Gunung Merapi di sana berhasil mengalihkan perhatian kami. Kabarnya beberapa tahun yang lalu sempat ada wisatawan Rusia yang menjelajahi gunung ini sendirian tanpa sepengetahuan warga. Wisatawan itu tersesat dan baru menemukan jalan pulang tiga hari kemudian dalam keadaan dehidrasi.



Di pemberhentian ketiga, kami bisa melihat batu besar yang dijuluki 'Batu Berwajah Manusia'. Pertama lihat sih biasa saja, tapi kalau terus diperhatikan agak mirip dengan muka manusia hahaha. Kata pemandu itu, batu ini terlempar saat erupsi. Bayangin batu sebesar itu! 


Selanjutnya, kami beristirahat di sebuah pondok. Pondok ini hanya berjarak beberapa kilometer dengan gunung yang memuncratkan lava api saat erupsi. Kami bisa melihat bekas lava itu dengan jelas. Suasana yang tenang dan dingin, enggak disangka gunung itu ternyata menyimpan lava seganas itu. Makam Mbah Maridjan pun menjadi akhir destinasi kami. Pasti kenal dong dengan mbah ini? Juru kunci Gunung Merapi yang juga menjadi korban erupsi. Setelah meninggalnya juru kunci ini, maka anak beliaupun mewarisi pekerjaan bapaknya tersebut.


Perjalanan pulang kembali melewati jalan bebatuan. Hawa yang dingin buat gue mengantuk. Kali ini gue duduk di sebelah sang supir. Melihat banyak truk yang berlalu-lalang, gue bertanya, "Itu truk ngangkatin pasir vulkaniknya mas?" Ternyata benar. Bahkan cerita si supir, truk-truk itu mengambil pasir hampir gratis untuk dijadikan bahan bangunan. Warga hanya mendapat sedikit dari hasil mereka.



Taman Sari

Taman Sari merupakan bekas tempat pemandian para selir sultan. Dari atas sultan akan melihat para selirnya dan kemudian memilih salah satu selir untuk tidur bersama dia. Sayangnya tempat ini sudah enggak lagi terawat, tapi harga masuk sangat murah kok. Sekitar 2.500/org.


Vredeburg

Bekas benteng pertahanan Belanda ini memiliki banyak ruangan diorama di dalamnya, tetapi kami datang ke sini lebih banyak foto-fotonya sih hahaha. Harga masuknya terjangkau!



Pantai Parangtritis

Ini dia objek wisata paling terkenal di Jogja, Pantai Parangtritis. Enggak kalah indah sama Pantai Kuta-nya Bali. Lautnya bersih dan biruuu banget. Kekurangannya kita enggak boleh berenang terlalu jauh. Kalau mitos bilang entar Nyi Roro Kidul minta tumbal, tapi sebenarnya ada alasan ilmiah kenapa pantai ini hanya bisa dinikmati mata saja. Arus ombak yang sangat deras. Waktu di sana temen gue sempet tertarik beberapa meter, padahal awalnya hanya berdiri di tepi pantai. 


Malioboro

Di sinilah gue mendapat kosakata baru "JOS". Hahaha. Kalau yang ini kayaknya enggak usah dikasihtau yah ada apa saja, tapi satu hal yang menarik perhatian gue. Toleransi. Loh kok? Berbagai daerah berkumpul di tempat ini. Di hari Sabtu malam gue sempet melihat pertunjukan wayang dengan menggunakan bahasa Jawa. Acara ini menarik pengunjung turis asing loh. Di seberang pertunjukan wayang, gue bisa melihat orang-orang Indonesia Timur, seperti Papua, NTT, dan Ambon sedang memperlihatkan tarian dan nyanyian mereka. Pertunjukan ini juga banyak menyita perhatian. Walaupun berbeda daerah, tapi orang Jogja tidak pilih kasih, itusih pendapat gue. Mereka terbuka dan tidak rasis. Enggak harus budaya Jawa melulu yang dipamerkan.



Last, I really miss Jogjakarta. Somehow I would like to spend my old time there. Peace and quiet. :)









No comments:

Post a Comment